Diskriminasi warna kulit

Diskriminasi warna kulit atau juga disebut sebagai colorism dapat didefinisikan sebagai sistem yang memberikan hak istimewa kepada orang yang berkulit lebih terang di atas orang yang berkulit lebih gelap dalam suatu komunitas. Diskriminasi warna kulit secara definitif berbeda dengan rasisme. Namun, keduanya saling berhubungan karena diskriminasi warna kulit merupakan produk dari rasisme. Ras umumnya mengacu pada kategori orang yang dibagi berdasarkan tipe fisik, penampilan, keturunan, dan karakteristik nyata atau stereotipe yang ditentukan oleh ideologi rasial Eropa di abad kedelapan belas dan kesembilan belas. ideologi ini menempatkan orang kulit putih di puncak hierarki sosial dan orang kulit hitam dan orang bukan kulit putih lainnya di bawah. Sementara itu, warna kulit umumnya mengacu pada gradasi karakteristik fisik (diurutkan dari terang ke gelap atau putih ke hitam) yang, di dunia Barat, juga didasarkan pada gagasan ras dan hierarki warna.[1] Dengan demikian, keduanya berkelindan satu sama lain, sebab tidak akan ada diskriminasi warna kulit apabila tidak ada rasisme.

Perbudakan Afrika

Diskriminasi warna kulit bertumpu pada pengistimewaan warna ras putih (whiteness) dalam hal fenotipe, estetika, dan budaya. Namun, pengalaman diskriminasi warna kulit dari satu ras dengan ras lain berbeda-beda.[2][3] Sejarah panjang stratifikasi warna kulit pada dasarnya berakar pada kolonisasi dan perbudakan oleh orang Eropa. Orang kulit putih menciptakan hierarki rasial untuk membenarkan perlakuan tidak manusiawi mereka terhadap orang kulit berwarna yang mereka jajah. Inilah awal mula ideologi supremasi kulit putih, yakni ideologi yang menganggap ras kulit putih sebagai superior. Hal ini ditandai dengan pemberian hak istimewa terhadap kulit putih dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan representasi media.[4] Ideologi yang menyebabkan adanya diskriminasi warna kulit ini dalam praktiknya tidak hanya beroperasi pada ras kulit putih atau ras yang lebih terang. Namun, ideologi ini juga beroperasi di dalam komunitas kulit berwarna yang mendapat diskriminasi.[5][6]

  1. ^ Dixon, Angela R.; Telles, Edward E. (2017-07-31). "Skin Color and Colorism: Global Research, Concepts, and Measurement". Annual Review of Sociology. 43 (1): 405–424. doi:10.1146/annurev-soc-060116-053315. ISSN 0360-0572. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-07. Diakses tanggal 2021-07-13. 
  2. ^ HUNTER, MARGARET L. (2002-04-01). ""If You're Light You're Alright": Light Skin Color as Social Capital for Women of Color". Gender & Society (dalam bahasa Inggris). 16 (2): 175–193. doi:10.1177/08912430222104895. ISSN 0891-2432. 
  3. ^ Rahman, Mahima (2020-12-14). "The Causes, Contributors, and Consequences of Colorism Among Various Cultures". Honors College Theses. 
  4. ^ "Colourism: How skin-tone bias affects racial equality at work". World Economic Forum (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-09. 
  5. ^ Hunter, Margaret L. (1998-10). "Colorstruck: Skin Color Stratification in the Lives of African American Women". Sociological Inquiry (dalam bahasa Inggris). 68 (4): 517–535. doi:10.1111/j.1475-682X.1998.tb00483.x. ISSN 0038-0245. 
  6. ^ Anekwe, Obiora (2015). "Global Colorism: An Ethical Issue and Challenge in Bioethics". Voices in Bioethics (dalam bahasa Inggris). ISSN 2691-4875. 

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search